thesilent1.com – MODE DENGAR
— Kehadiran aset kripto, sebuah entitas yang terbilang anyar di jagat internet memantik perdebatan tentang banyak hal. Dari mulia perkara utilitas, nilai ekonomi, regulasi, hingga status halal dan haram utamanya dalam khazanah fikih Islam.
Perdebatan tentang halal haram aset kripto ini jamak ditemui. Ragam organisasi Islam besar yang ada di Indonesia juga telah mengeluarkan pandangan dan fatwanya berkenaan dengan aset kripto.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-7 yang digelar pada November 2022 menyimpulkan penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang dan sil’ah haram, dengan pengecualian bagi aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta manfaat.
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang dipublikasi pada Januari 2022 menetapkan bahwa mata uang kripto hukumnya haram baik sebagai alat investasi maupun sebagai alat tukar.
Kripto sebagai aset investasi diharamkan lantaran sifatnya yang spekulatif, mengandung gharar (ketidakjelasan). Bitcoin juga dinilai tak memiliki underlying asset (seperti emas dan barang berharga lain).
Kripto sebagai alat tukar juga disebut tak memenuhi dua syarat pokok: diterima masyarakat dan disahkan negara yang dalam hal ini diwakili bank sentral. Muhammadiyah berpandangan penggunaan kripto sebagai alat tukar hukum asalnya adalah boleh.
Nahdlatul Ulama (NU) lewat sejumlah pendapat pengurus wilayah punya pandangan yang lebih dinamis dan heterogen berkenaan dengan status fikih aset kripto.
Salah satu pembahasan awal mengenai fikih kripto yang dapat ditemukan di kalangan ulama NU ialah dalam Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tanggal 10-11 Februari 2018 di Tuban.
Hasil rembug ulama kala itu menyebut Bitcoin tergolong “harta virtual” serta “dapat dijadikan sebagai alat transaksi yang sah dan dapat dijadikan sebagai investasi.”
Pada Juni 2021, Bahtsul Masail ulama NU dengan Pendiri Islamic Law Firm (ILF) dan Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menyatakan bahwa kripto sah dipertukarkan sepanjang tidak terjadi gharar (ketidakpastian).
Pada Oktober 2021, PWNU Jawa Timur berbalik arah dengan memutuskan cryptocurrency adalah haram. Lebih jauh, disebutkan bahwa status cryptocurrency tidak bisa diakui sebagai komoditi dan tidak diperbolehkan.
Pada November 2021, PWNU Yogyakarta mengeluarkan pandangan bahwa aset kripto boleh dijadikan sebagai alat tukar maupun komoditi.
Sebab kripto dianggap haram
Dalam ragam pendapat halal haram kripto dari sejumlah lembaga otoritatif Islam, ada beberapa alasan yang mengonstitusikan pandangan-pandangan dan fatwa haram berkaitan dengan kripto.
Pendapat tersebut, seperti telah dikemukakan beberapa di antaranya ialah bahwa aset kripto terbilang tidak pasti, tak berwujud, berisiko tinggi, atau tak punya underlying asset.
Dalam kosakata hukum Islam, Fatwa MUI misalnya, mengharamkan kripto sebagai komoditas karena mengandung gharar, dharar, qimar dan tidak memenuhi syarat sil’ah.
Gharar artinya bersifat spekulatif, tak pasti, menimbulkan keraguan dan mengandung potensi penipuan. Contoh barang gharar yang belakangan sering dirujuk ialah mistery box.
Dharar adalah transaksi yang dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Sementara itu, qimar adalah kompetisi yang tidak jelas seperti judi atau taruhan.
Sil’ah artinya berwujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli.
Cryptocurrency sebagai komoditas atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah adalah yang memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas sah untuk diperjualbelikan.
Tilikan terhadap beberapa unsur
Unsur ‘ketidakpastian’ (gharar), ‘memicu kerugian’ (dharar) dan “seperti taruhan” (qimar) saling melengkapi dalam konstruksi haram dalam kripto.
Sebuah ilustrasi sederhana, katakanlah seorang pedagang nasi kebuli berinvestasi pada Bitcoin. Tanpa pengetahuan yang cukup, ia mendeposit uang tabungan Rp300 juta untuk sekeping Bitcoin. Setahun kemudian, harga Bitcoin anjlok menjadi Rp30 juta per keping.
Dalam ilustrasi tersebut, tergambar bagaimana peran volatilitas harga. Volatilitas adalah ‘ketidakpastian’. Volatilitas harga jugalah yang menggerus nilai dan ‘memicu kerugian’. Kurangnya pengetahuan tentang volatilitas ini membuat tindakan si pedagang tampak ‘seperti taruhan’ dengan aturan main untung-untungan belaka.
Pentingnya pengetahuan yang menunjang kemampuan analisis pasar ini harus disadari supaya bermain kripto tidak ‘seperti taruhan’ yang ‘memicu kerugian’ karena faktor ‘ketidakpastian’.
Bahtsul Masail ulama NU dengan Yenny Wahid yang menyatakan bahwa kripto sah dipertukarkan sepanjang tidak terjadi ketidakpastian mengimbau masyarakat agar tidak mudah melakukan transaksi ini, “jika tidak memiliki pengetahuan tentang cryptocurrency.”
Volatilitas harga ini sebetulnya merupakan pemandangan yang jamak di dunia trading, terutama di pasar volatil, walaupun diklaim lebih stabil ketimbang pasar kripto. MUI memberi fatwa boleh dalam trading forex dan saham di pasar spot.
Trading forex di pasar spot dibolehkan dengan beberapa syarat, termasuk “tidak untuk spekulasi (untung-untungan)” dan “ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)”.
Terkait sil’ah wujud fisik, Faraz Adam, Kepala Amanah Advisors, konsultan keuangan syariah global yang juga merupakan seorang mufti dari Inggris, punya pandangan tersendiri tentang wujud Bitcoin.
Pencipta Bitcoin Satoshi Nakamoto Layak Menerima Hadiah Nobel Ekonomi
Korsel Akan Ganti KTP dengan ID Digital Berbasis Blockchain
Paradigma bahwa ‘sesuatu’ harus berbentuk mengabaikan gagasan tentang adanya ‘sesuatu’ yang eksis tapi intangible. Beberapa hal eksis meskipun tak memiliki dimensi wujud, seperti emosi, pikiran, dan oksigen.
Keberadaan hal-hal seperti itu dapat diketahui melalui konsekuensi dan fitur-fiturnya. Bitcoin misalnya, melalui penggunaan dan aksesibilitasnya melalui dompet digital (wallet).
Faraz Adam mengategorikan Bitcoin sebagai maal (harta). Segala sesuatu yang dianggap maal, harus memiliki daya tawar dan dapat disimpan. Bitcoin memiliki fitur tertentu sebagai daya tawar utamanya sebagai alat transaksi. Bitcoin berjalan di atas rel teknologi blockchain yang memungkinkan transaksi terdesentralisasi tanpa perantara yang diklaim lebih cepat, efisien, dan murah.
Daya tawar Bitcoin atau kripto lainnya juga didukung jumlahnya terbatas. Sehingga permintaan akan terus meningkat seiring menipisnya persediaan.
Sehubungan dengan daya simpan, catatan atas kepemilikan Bitcoin tersimpan di buku besar ledger publik dalam blockchain. Kepemilikan tercermin dari alamat wallet Bitcoin yang memuat jumlah saldo. Catatan ledger raksasa ini berlaku sebagai penanda hak milik dan membuatnya bisa diserahkan kepada pembeli.
Perspektif yang menghalalkan kripto
Di tengah pendapat yang mengharamkan kripto sebagai aset maupun mata uang, ada juga perspektif ulama yang menghalalkan kripto.
PWNU Yogyakarta misalnya, berpendapat cryptocurrency dibolehkan dalam hukum Islam sebagai alat tukar maupun komoditas. Kripto dinilai memenuhi syarat baik sebagai alat tukar (al-tsaman) maupun sebagai komoditas (al-mutsman) di antaranya; memiliki manfaat (muntafa’), bisa diserahterimakan (maqdur ‘ala taslimih), dan bisa diakses jenis serta sifatnya oleh kedua belah pihak (ma’luman lil ‘aqidain). Berbagai varian kripto yang tidak memenuhi beberapa syarat tersebut dikecualikan.
Pakar keuangan syariah asal Pakistan, Mufti Muhammad Abu-Bakar berpendapat bahwa status sesuatu sebagai mata uang, tidak bergantung pada pengakuannya sebagai legal tender di suatu negara.
“Pada prinsipnya, untuk mengkualifikasikan sesuatu sebagai uang, ia tidak perlu memiliki status legal tender. Kriteria utama uang dalam syariah adalah penerimaannya oleh orang-orang, apakah itu terjadi dengan memaksakannya kepada orang-orang melalui undang-undang, atau melalui penyebaran penerimaan sukarela,” urainya.
Ia berpendapat bahwa Bitcoin seharusnya legal secara syariah. Alasannya, pada titik tertentu, mata uang fiat, emas, dan sebagian besar instrumen keuangan lainnya memiliki sifat spekulatif sebab bergantung pada penawaran dan permintaan.
Volatilitas harga yang membuat sesuatu menjadi spekulatif menurutnya adalah faktor eksternal yang tidak ada hubungannya dalam menentukan sesuatu itu sebagai mata uang. Bila sifat spekulatif atau volatil tidak boleh terkandung dalam mata uang, maka semua jenis uang akan diharamkan.
“Sebenarnya jika prinsip ini berlaku dan diterapkan, maka perdagangan emas, perak, Dolar AS, dan Euro semuanya akan diharamkan, karena aset tersebut juga memiliki tingkat spekulasi,” ujarnya.
Dia tak menyangkal bila nilai tukar Bitcoin dan cryptocurrency lebih volatil dan berisiko. Karena itu, pengetahuan yang memadai tentang seluk beluk dunia trading dan kripto wajib dimiliki.
“Oleh karena itu, tidak disarankan untuk berdagang cryptocurrency, terutama untuk orang awam yang kurang profesional pengalaman dan kecanggihan dalam perdagangan valuta asing.”