Jalan Tengah antara Halal dan Haram dalam Pengembangan Ekosistem Kripto

thesilent1.com – — Kripto sebagai salah satu produk teknologi baru, menjadi objek yang terus dikaji dan dibedah para peneliti. Telaah atas produk kebudayaan manusia ini terpacak di beragam sisi keilmuan: bukan cuma dari aspek teknologi, ekonomi dan dampak sosial saja, namun juga aspek moral dan norma hukum yang berkonsekuensi mengikat seperti fikih Islam.

Debat halal haram kripto ini menjadi pemandangan yang jamak ditemui belakangan ini. Ada banyak pandangan dari para sarjana muslim terkait hukum halal haram kripto ini. Nadanya tak seragam, ada yang membolehkan, ada juga yang melarang.

Sebagian kelompok yang memandang kripto halal menyatakan bahwa aset kripto sah dipertukarkan sepanjang tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian). Unsur gharar ini, oleh kelompok yang berseberangan, dinilai melekat pada kondisi volatilitas harga kripto yang ekstrem.

Selain argumen gharar, sebagian kelompok lain yang melarang biasanya punya kecenderungan untuk berpijak kepada alasan-alasan normatif pemanfaatan teknologi. Seperti misalnya, justifikasi kripto itu haram lantaran sering digunakan untuk transaksi barang ilegal seperti senjata, narkoba, dan sebagainya.

Peneliti Blockchain INSA de Lyon – Université de Lyon, Wisnu Uriawan, mengatakan, produk teknologi, apapun bentuknya, pada prinsipnya bersifat netral. Apakah ia berupa kripto, senjata, atau senyawa kimia ‘paling berbahaya’ sekalipun, ada di domain yang sama. Semuanya, tidak bisa diintervensi oleh justifikasi moral tertentu, baik buruk atau halal haram.

Justifikasi baru bisa hadir saat produk teknologi itu diterapkan atau digunakan oleh manusia. Orang bisa saja menggunakan Bitcoin, misalnya, untuk membeli barang-barang ilegal macam narkoba, senjata, transaksi judi, dan lain sebagainya. Tapi di sisi lain, tak menutup kemungkinan Bitcoin juga dapat digunakan untuk membeli barang-barang pada umumnya, semisal kacang, kopi, es krim, kaos bola, dan lain sebagainya seperti yang telah dilakukan di El Salvador.

Teknologi an sich, menurut Wisnu, tidak bisa diintervensi kategori-kategori moral. Status baik buruk atau halal haram baru bisa dievaluasi dalam tahap pengaplikasiannya.

“Faktor-faktor yang menyebabkan itu halal dan haramnya sebetulnya adalah di lingkaran kedua, di aplikasinya. Apakah nanti akan berdampak kepada satu kemaslahatan atau satu keburukan,” kata Wisnu kepada Portalkripto.

Tujuan baik dan buruk pemanfaatan teknologi ini dapat menjadi bahan bagi regulator atau otoritas tradisional yang dipercaya masyarakat dalam menentukan status legalitas dan halal haram. Namun keputusan yang dibuat mestilah atas kajian yang komprehensif. Wisnu mengatakan, bila keputusan yang keluar “tidak tervalidasi dengan baik” maka, “akan terjadi distorsi” di level masyarakat sebagai pengguna.

Wisnu memandang, lembaga-lembaga tidak akan serta merta mengeluarkan pandangan atau fatwa berkenaan dengan kripto, namun bila fatwa itu berubah di kemudian hari, hal tersebut justru akan merepotkan.

“Kalau sudah ter-deliver ke publik, ini menjadi sebuah keputusan. Kalau sudah keputusan, merevisinya lebih repot dibanding kita lebih hati-hati dalam mengeluarkan keputusan,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN SGD Bandung ini berpendapat, kemungkinan pilihan fatwa paling tepat terhadap kripto dalam pandangannya sejauh ini ialah syubhat atau mubah.

“Kalau masih belum utuh, anggaplah yang di tengah-tengah, mungkin syubhat atau mubah, itu mungkin yang tepat pilihannya. Jangan sampai nanti menjustifikasi ini judge haram dulu, atau judge halal dulu, tiba-tiba direvisi. Nah ini yang repot. Tapi kalau prosesnya ke syubhat atau mubah ini, kan, orang masih bisa ragu-ragu walaupun belum tegas, tapi nanti prosesnya akan berjalan,” urai Wisnu.

Dia melihat ada potensialitas murni dari kripto ini untuk diadopsi sebagai alat tukar di masa depan, menggantikan mata uang fiat. Namun jalan menuju ke arah tersebut masih panjang dan berlubang. Kripto masih harus memenuhi semua aspek kredibilitas yang menopang mata uang fiat. Tantangan lainnya adalah fluktuasi nilai serta kalkulasi politik negara-negara yang saat ini kurs mata uangnya diuntungkan dengan sistem fiat.

“Ada peluang bagi teknologi blockchain ini untuk membentuk sebuah currency atau mata uang, karena memang teknologi blockchain ini memiliki beberapa kelebihan yang mungkin secara umum sudah diketahui yaitu ada fitur-fitur yang sangat cocok dijadikan sebagai kandidat pengganti mata uang fiat,” katanya.

Ekosistem teknologi yang berkembang saat ini sudah menyediakan jalan bagi adopsi kripto sebagai mata uang digital. Fenomena cashless yang gandrung di kalangan kaum urban menjadi gambaran prototipe dari penggunaan kripto.

“Hari ini penerapan prototipe penerapan cryptocurrency sebenarnya sudah sukses. Cuma masalahnya, tinggal menentukan kebijakannya, jenis kriptonya, dan segala macamnya,” kata dia.